Tak bisa lagi kuingat kapan
persisnya
Rasa ini tak lagi menabur
semai-semainya
Pada sekuntum jiwa
yang tak kunjung mekar itu
Sungguh aku tak ingin menyandera
hati
Di kala diri ini telah
tak sanggup lagi berjalan, bertautan
Dengan jemari yang tak lagi menggenggam
Tapi entahlah, tak banyak
yang bisa kuhapuskan
Dari jejakku yang telah
begitu mengakar
di petak-petak yang
dulu sering kusiram
Cobalah jawab tanyaku ini
Bisakah kamu sekedar menyentuh
kelopak bunga
Tanpa tergores oleh tajam
belukarnya?
Sudah, cukup sudah!
Tak ayal aku pun bersembunyi
Menolak untuk datang lagi
ke taman itu, yang sudah berjelaga mengaratkanku
Bisakah kau mengerti?
Aku lelah, aku melemah
Di pasangmu aku surut,
pun tenggelammu hanya bisa menyeretku karam
Semakin dalam, semakin
dalam
Aku ingin bernafas!
Ya, jarak ini memang sudah
tak lagi memisah
Tapi di tiap jengkalnya
hanya terekam lambaian tangan
Kuat-kuat, namun samar
saja di matamu
Yang jika kini semua menyata,
waktulah yang layak kau tuntut
Maka bayangkanlah sebisamu
Riangnya anak-anak dalam
jiwa ini, menyambut hadirnya
Menciumi tangannya,
dan seketika merubahnya jadi ksatria
Siap menghunuskan pedang
dan perisainya
Menjaganya untuk tak terbang
lagi terlalu cepat
Menahannya sejenak di
tanah yang gersang ini
Berharap hujan yang ia
bawa menyejukkan hampa yang lama mendahaga
Dan memang, ia nyata
Tak terduga, namun juga
tak asing
Seperti telah berabad mengenalnya
Mungkin memang ialah separuh
diriku yang hilang
Yang datang mengagetkanku
sejenak setelah kau lenyap
Membawakanku kembali nyala-nyala
jiwa yang meredup.
Sungguh, ini terlalu indah
buatku
Lalu bagaimana mungkin
aku mau kembali?
Yogya, February 2013